Diversifikasi Pangan
Diversifikasi pangan merupakan upaya untuk mendorong masyarakat agar memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsi sehingga tidak terfokus pada satu jenis saja. Konsep diversifikasi hanya terbatas pangan pokok, sehingga diversifikasi konsumsi pangan diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh penambahan konsumsi bahan pangan non beras. Pada dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang saling berkaitan, yaitu diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan, dan diversifikasi produksi pangan. Diverifikasi pangan juga bermanfaat untuk memperoleh nutrisi dari sumber gizi yang lebih beragam dan seimbang. Diversifikasi pangan yang dilakukan masyarakat kawasan ASEAN umumnya, dan Indonesia khususnya yaitu berupa nasi, karena mayoritas wilayah Asia Tenggara merupakan wilayah penghasil beras. Indonesia juga menegaskan komitmennya dalam melaksanakan program tersebut dengan menjelaskan definisi diversifikasi pangan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan demi mewujudkan swasembada beras dengan meminimalkan konsumsi beras agar tidak melebihi produksinya.
Perubahan pola konsumsi yang sudah berjalan akan menimbulkan gerakan ekonomi baru. Ekonomi baru ini akan tumbuh dan berkembang pada produksi dan pengolahan komoditas lokal selain beras. Sekaligus berpotensi menjadi sumber kesejahteraan masyarakat. Beberapa komoditas lokal yang berpotensi mengkonversi beras adalah sagu, singkong, aneka umbi, jagung, sorgum dan barley atau hanjeli. Apabila komoditas lokal ini termanfaatkan secara maksimal akan memberikan kontribusi positif untuk memperkuat kedaulatan pangan nasional. Diversifikasi akan dimulai dari pengolahan. Bila itu sudah diterima masyarakat, maka tinggal pengembangan produknya. Agar harga pangan lokal lebih terjangkau.
Program pemerintah untuk memperkuat ketahanan dan diversifikasi pangan nasional harus melibatkan sektor pendidikan. "Generasi muda harus dididik soal nasionalisme dan kedaulatan pangan melalui kurikulum sekolah taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Sektor pendidikan harus dilibatkan sebagai bagian dari strategi karena masyarakat harus mengubah kebiasaan pangan (food habit) akibat kebijakan pangan pada masa Orde Baru. Masyarakat selama ini hanya bertumpu pada beras, terigu, dan gandum.
Program diversifikasi pangan non-beras memang tidak cukup hanya dilakukan dengan imbauan atau sosialisasi tentang alternatif pangan. Program diversifikasi harus mulai dijadikan kebiasaan di kalangan masyarakat. Keterlibatan pemerintah sangat diperlukan melalui badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD). Selain itu peran swasta dalam menyediakan hasil olahan pangan lokal ke sekolah, pesantren dan pasar-pasar lokal maupun nasional.
Program diversifikasi pangan bertujuan untuk menggali dan meningkatkan penyediaan berbagai komoditas pangan sehingga terjadi penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain dengan meningkatkan usaha diversifikasi secara horizontal melalui pemanfaatan sumber daya yang beraneka ragam dan diversifikasi vertikal melalui pengembangan berbagai hasil olahan pertanian serta diversifikasi regional melalui upaya penganekaragaman produk yang dihasilkan untuk dikonsumsi berdasarkan potensi pangan lokal.
Program diversifikasi pangan dapat diusahakan secara simultan di tingkat nasional, regional (daerah) maupun keluarga. Upaya tersebut sebetulnya sudah dirintis sejak awal dasawarsa 60-an, dimana pemerintah telah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut. Saat itu pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok selain beras sehingga yang menonjol adalah anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan jagung, sehingga pernah populer istilah”beras jagung”.Ada dua arti dari istilah itu, yaitu campuran beras dengan jagung, dan penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu dengan jagung. Kebijakan ini ditempuh sebagai reaksi terhadap krisis pangan yang terjadi saat itu.
Tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, dan diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok, tidak pada keanakeragaman pangan secara keseluruhan. Sehingga banyak bermunculan berbagai pameran dan demo masak-memasak yang menggunakan bahan baku non beras seperti dari sagu, jagung, ubi kayu atau ubi jalar, dengan harapan masyarakat akan beralih pada pangan non beras.
Namun kenyataanya usaha tersebut kurang berhasil untuk mengangkat citra pangan non beras dan mengubah pola pangan pokok masyarakat.
Kebijakan atau program secara langsung dan tidak langsung yang terkait dengan diversifikasi konsumsi pangan terus digulirkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan dan dilakukan oleh banyak instansi. Melalui Perpres No 83 tahun 2006 tentang Dewan ketahanan pangan, dimana mempunyai tugas untuk mengkoordinasikan program ketahanan pangan termasuk tujuan untuk mengembangkan diversifikasi pangan.
Dalam usaha perwujudan ketahanan pangan pada umumnya dan diversifikasi konsumsi pangan pada khususnya juga dituangkan dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) melalui Program Peningkatan Ketahanan Pangan. Program ini salah satunya bertujuan untuk menjamin peningkatan produksi dan konsumsi yang lebih beragam. Dari tahun ke tahun pola konsumsi masyarakat Indonesia terus mengalami perubahan.
Diversifikasi konsumsi pangan pokok tidak dimaksudkan untuk mengganti beras secara total tetapi mengubah pola konsumsi pangan masyarakat sehingga masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan dan lebih baik gizinya. Pangan yang dikonsumsi akan beragam, bergizi dan berimbang. Di Indonesia terdapat pedoman untuk mengukur diversifikasi konsumsi pangan termasuk pangan pokok yang dikenal dengan Pola Pangan Harapan (PPH). PPH yang diharapkan mencapai angka 100, namun PPH penduduk Indonesia sampai saat ini masih belum mencapai angka tersebut.
Pangan fungsional merupakan makanan dan bahan pangan yang dapat memberikan manfaat tambahan di samping mempunyai fungsi gizi dasar pangan tersebut sesuai dengan posisinya dan bisa bermanfaat bagi kesehatan. Pangan lokal Indonesia adalah merupakan potensi yang bisa dikembangkan menjadi makanan fungsional.
Pengembangan pangan fungsional melibatkan beberapa tahap yang berbeda dari konsep, sampai pelaksanaan di pasar. Proses yang terlibat di setiap tahap, dimulai dengan menerjemahan konsep esensial ke dalam prototipe yang dapat diterima dan dijual/dipasarkan.
Beberapa prototipe kemudian memerlukan pengujian khasiat dan keamanan menggunakan hewan coba dan manusia melalui uji klinis. Publikasi data efikasi dan keamanan akan meningkatkan kredibilitas produk pangan fungsional yang akan digambarkan dengan peningkatan kesadaran konsumen, yang juga dapat digunakan sebagai dasar untuk memperoleh perijinan dan pengembangan klaim kesehatan. Penerimaan konsumen dan adanya klaim kesehatan memudahkan dalam penetrasi pasar pangan fungsional, yang dengan sendirinya meningkatkan inisiatif untuk penciptaan produk baru.
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka mendukung program percepatan diversifikasi pangan, sehingga sumber karbohidrat tidak lagi pada satu jenis makanan pokok yaitu beras. Salah satunya adalah dengan mulai dicanangkannya program One Day No Rice yang dimaksudkan untuk mendukung program percepatan penganekaragaman pola konsumsi pangan.