Apa Kabar Pangan Lokal ?

Apa Kabar Pangan Lokal ?


Apa kabar pangan lokal? Pertanyaan ini memang cukup menggelitik. Di tengah upaya pemerintah menggenjot produksi pangan, khususnya padi, jagung dan kedelai, keberadaan pangan lokal terasa makin terasing.

Kebijakan pemerintah yang meng­gelontorkan be­ras un­tuk masyarakat mis­­kin di daerah yang terbiasa meng­konsumsi pangan lokal berimbas pada kebiasaan masyarakat. Era Orde Baru telah menggiring ma­sya­rakat beralih mengkonsumsi beras.

Budaya konsumsi yang meng­andalkan umbi-umbian dan pa­ngan lokal yang sudah diwarisi turun temurun kini mulai sirna. Beragam pangan lokal yang disajikan dahulu, kini mulai hilang tergerus zaman. Alhasil sebagian anak muda telah lupa akan potensi pangan yang dimiliki daerahnya.

Padahal ketergantungan ter­hadap beras sebagai makanan pokok membuat tekanan terhadap upaya peningkatan produksi makin berat. Bayangkan saja, tiap tahun rakyat Indonesia mengkonsumsi beras hingga 124 kg/kapita/tahun. Angka tersebut tertinggi di dunia.

Di sisi lain peningkatan pro­duksi padi makin banyak kendala. Misalnya, adanya konversi lahan pertanian ke non pertanian yang cukup tinggi. Diperkirakan tiap tahun mencapai 100 ribu hektar (ha)/tahun. Produktivitas tanaman padi juga telah mengalami pelan­daian. Belum lagi gangguan perubahan iklim yang membuat kegagalan panen.

Karena itu pemerintah harus kembali menggaungkan gerak­an pangan lokal yang kini mulai redup.  Jika dibiarkan, maka pangan lokal bakal tinggal sebatas cerita dan hanya sebagai sejarah bangsa Indonesia. Melihat potensi pangan lokal yang ada di Indonesia, sangat luar biasa. Dari Sabang sampai Merauke, wilayah nusantara mempunyai sumberdaya pangan lokal yang sudah turun temurun dikonsumsi masyarakat.

Kepala Pusat Penganekara­gaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pa­ngan, Kementerian Pertanian, Sri Sulihanti  mengakui, ketergan­tungan masyarakat terhadap be­ras hingga kini masih sangat tinggi sekali.  Dengan konsumsi beras 124 kg/kap/tahun akan menjadi permasalahan pada masa mendatang. Apalagi jika tidak diwaspadai dari sekarang.

Ke depan menurutnya, penye­dia­an beras akan menghadapi tantangan yang semakin besar. Se­but saja, alih fungsi lahan, terutama di Jawa. Padahal pangan (padi) 60% diproduksi di Jawa. Tantangan lainnya, pertambahan jumlah penduduk, perubahan iklim, degradasi lahan dan air. Untuk memproduksi beras mem­butuhkan air yang sangat banyak. “Mau tidak mau kita harus segera melakukan diversifikasi sumber karbohidrat selain beras,” katanya.

Potensi Pangan Lokal

Indonesia  memiliki potensi yang sangat besar untuk pengem­bangan pangan pokok selain beras, seperti ubi kayu, jagung, sagu dan berbagai jenis umbi-umbian. Kebanyakan pangan sumber kar­bohidrat tersebut kian tersisih dan dianggap sebagai pangan inferior (tidak bergengsi). “Ini menjadi tantangan kita bersama untuk menjadikan pangan lokal sebagai pangan yang sehat, bergizi, mena­rik dan bergengsi,” ujarnya.

Sulihanti mengakui, meng­atasi tantangan tersebut tidak mudah. Harus ada upaya terus menerus mempromosikan, mensosia­lisasikan dan memasyarakatkan, dibarengi penyajian yang menarik dan mudah didapatkan. Harganya juga harus  terjangkau.

Tentu saja hal ini memerlukan dukungan semua pihak yang terkait, baik pemerintah pusat dan daerah, petani, swasta, lembaga penelitian dan perguruan tinggi, serta masyarakat. Dari mulai kebijakan yang kondusif sampai pada implementasinya yang meliputi dalam penyediaan bahan baku, dukungan teknologi pengolahan pangan, pengemasan, promosi dan pemasaran hasil.

Menurutnya, jika semua daerah mengembangkan pangan lokal, terutama sumber karbohidrat selain beras sesuai potensi daerah, maka pemerintah tidak perlu setiap saat dipusingkan masalah ketersediaan beras. Jadi program diversifikasi pangan yang pemerintah galakkan untuk memperbaiki kualitas konsumsi pangan masyarakat.

Sulihanti mengatakan, per­baikan konsumsi pangan dan gizi sangat terkait dengan upa­ya mengubah mindset atau pola pikir masyarakat dan perseorangan ke arah pola konsumsi pangan yang beragam bergizi seimbang. Namun upaya tersebut bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, sangat dipengaruhi budaya, selera dan kebiasaan makan yang turun te­murun, yang dipengaruhi kondisi sosial budaya masyarakat.

Sulihanti menegaskan, diversi­fikasi konsumsi pangan bukan berarti  pemerintah tidak lagi ber­upaya memenuhi kebutuhan beras dari dalam negeri. Pemerintah tetap mengupayakan agar produksi padi/beras terus meningkat melebihi kebutuhan, sehingga negara bisa mencapai surplus cadangan pangan.

Program diversifikasi pa­ngan berbasis sumberdaya lokal  menurutnya, justru akan mem­percepat swasembada beras yang telah pemerintah canangkan. Kare­na itu, sosialisasi dan promosi diversifikasi konsumsi pangan secara terus  menerus sangat diper­lukan.


0 Komentar

Tulis Komentar