Boros Pangan

Boros Pangan


Oleh Eddy Suntoro

Disaat bangsa-bangsa di dunia (termasuk Indonesia) berusaha keras mencukupi kebutuhan pangan warganya, ternyata pemborosan pangan terjadi secara signifikan. Menurut Badan Pangan Dunia FAO (Food Agriculture Organization), sepertiga makanan yang diproduksi di dunia setiap tahun, atau sekitar 1,3 miliar ton terbuang begitu saja. Padahal ada 925 juta orang menderita kelaparan di dunia.

Menurut FAO, konsumen di Eropa dan Amerika Utara menyia-nyiakan antara 95 dan 115 kilogram makanan setiap tahun. Limbah makanan dari sub Sahara Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara antara 6 sampai 11 kilogram per orang.

FAO mengingatkan bahwa ketersediaan sumberdaya alam terbatas, sehingga lebih efektif mengurangi hilangnya makanan daripada meningkatkan produksi pangan, guna memberi makan penduduk dunia yang terus bertambah.  

Sedangkan Kelompok periset dari Global Commision on the Economy and Climate, organisasi internasional yang didirikan mantan Presiden Meksiko Felipe Calderon melaporkan bahwa, ditatanan global makanan yang terbuang apabila diuangkan mencapai US$ 400 miliar per tahun. Dalam dekade mendatang nilainya diprediksi mencapai US$ 600 miliar.

Kelas Menengah Atas

Pemborosan pangan lebih sering dilakukan sebagian masyarakat  “menengah-atas”, yang mempunyai akses mudah “mencicipi dan menikmati” aneka jenis makanan, karena kemampuan ekonomi atau diundang rekan kerja, relasi bisnis dalam berbagai acara, yang disetiap acara diakhiri dengan makan-makan.

Global Commision on the Economy and Climate juga menyimpulkan bahwa kelas menengah dinegara berkembang  memberi sumbangsih terbesar terhadap limbah makanan. (Media Indonesia 10-3-2015).

Untuk mengurangi pemborosan pangan, Director of Global Commision on the Economy and Climate Helen Mountford menghimbau perlunya mengurangi bahkan tidak menyisakan makanan sedikitpun.

Selain itu, masyarakat harus disadarkan agar mengubah pola konsumsi pangan, untuk memenuhi kebutuhan pangan di masa mendatang. Sebagai gambaran, apabila jumlah limbah makanan yang terbuang dapat ditekan 20% sampai 50%, akan ada penghematan US$200 sampai  US$300 miliar.

Lalu bagaimana cara Negara-negara didunia melakukan penghematan dan memerangi pemborosan makanan? Inggris sudah memulai langkah besar dengan program kampanye The UK-based Waste and Resources Action Program (WRAP) yang bertajuk “Cintai makananmu, Bencilah Limbahnya”.

Kampanye ini difokuskan kelingkungan rumah tangga, karena limbah makanan dari rumah tangga mempunyai porsi 21% atau setara US$20,1 miliar pertahun. Fakta lain menyebutkan sekitar 7% dari seluruh gas emisi rumah kaca atau setara 3,3 miliar ton karbondioksida disebabkan dampak limbah makanan.

Di Jepang, masyarakatnya terbiasa makan beragam lebih dari 20 jenis makanan. Makanan diambil sedikit-sedikit sesuai keperluan, sehingga tidak ada makanan tersisa. Ibu rumah tangga di Jepang sudah terbiasa  merencanakan jumlah makanan yang akan dimasak.  Ketika sebuah keluarga ada acara diluar rumah yang menyediakan makanan, masak dirumah dibatasi sesuai kebutuhan, sehingga hampir tidak ada makanan tersisa.

Di Amerika Serikat, orang makan benar-benar sampai habis, bahkan mereka sudah biasa menjilati makanan yang masih menempel dijari tangan.

Bagi warga Belanda, jumlah makanan benar-benar sesuai kebutuhan. Sebagai tuan rumah, mereka tidak akan malu dan enggan menanyakan kepada tamunya tentang porsi makan yang diperlukan. Pertanyaan seperti “kentangnya 1 porsi atau 2 porsi, Porsi besar atau porsi kecil” sudah hal biasa, ketika bertamu maupun membeli makanan di restauran.

Di Vietnam, sayur-sayuran dan sup dimakan lebih dahulu, nasi belakangan. Mereka mengkonsumsi pangan beragam, dan mengurangi makan nasi, sehingga tidak ada makanan tersisa. Hal ini juga dilakukan masyarakat Tiongkok, mereka cenderung makanan sayur-sayuran dan buah lebih dahulu, baru makan nasi secukupnya.

Sedangkan di Indonesia, dulu sangat terkenal dengan larangan membuang atau menyisakan makanan di dalam piring. “Habiskan makanannya, kasihan nasinya menangis kalau dibuang,” demikian sering diucapkan orang tua kita dulu. Makna kalimat tersebut adalah untuk menghargai sebutir padi yang ditanam dan dipanen petani agar tidak disia-siakan. Namun kata-kata maupun kalimat tersebut sudah sangat jarang kita dengarkan.

Dari berbagai cara menghemat makanan, India termasuk yang paling maju, karena  telah mengambil langkah kongkrit menghentikan pemborosan pangan. Pemerintah India, melalui Ministry of Consumer Affairs, Food and Public Distribution  telah membahas langkah-langkah guna mengurangi pemborosan makanan, khususnya pada pesta pernikahan  dan pertemuan sosial.

Negara berpenduduk terbesar kedua di dunia ini menyamakan perilaku pemborosan makanan pada pertemuan sosial sebagai “tindakan kriminal”. Stigma ini sangat berlasan, karena pemborosan pangan terus meningkat volumenya setiap tahun, padahal masih banyak  penduduk yang makan sehari sekali.

Mengingat upaya mencukupi kebutuhan pangan masyarakat semakin kompleks, pemerintah dan masyarakat harus untuk bersama-sama memerangi kebiasaan membuang-buang makanan.

Beberapa langkah yang biasa dilakukan antara lain: pertama, kebiasaan mengambil makanan dalam jumlah banyak lalu membuangnya, harus dihentikan. Masyarakat harus disadarkan, bahwa isi perut manusia hanya bisa menampung 1/3 makanan, 1/3 air dan 1/3 udara agar bisa bergerak leluasa dan tetap dalam kondisi sehat. 

Kedua, lakukan kampanye gerakan hidup hemat dan tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan, sehingga kegiatan ini akan berdampak signifikan dalam memberikan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang-buang makanan.

Ketiga, diwacanakan adanya pembatasan jumlah undangan dalam setiap acara. Hal ini penting, karena semakin banyak undangan yang hadir, maka pemborosan dan “penciptaan makanan sisa” akan semakin banyak.

Dari uraian di atas jelas, bahwa budaya makan kita harus segera dikoreksi. Jika  Anda termasuk orang yang suka meninggalkan makanan sisa dan membuang-buang makanan, segera hentikan kebiasaan tersebut, karena masih jutaan mulut yang sangat mengharapkan sesuap nasi untuk mengisi perut yang lapar. (Penulis bekerja di Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian).


1 Komentar

  1. lilliftjo
    lilliftjo
    06 Mei 2023 - 05:56:58 WIB